Borobudur, Warisan Keajaiban Dunia Yang Terlupakan

11 November 2008
Borobudur merupakan salah satu peninggalan sejarah terindah dan terbaik di dunia yang tercatat dalam Daftar Peninggalan Sejarah Dunia. Candi Borobudur adalah bangunan agama Budha terbesar di dunia dan telah diakui sebagai peninggalan sejarah terbesar yang pernah dibuat oleh manusia dan hingga kini selalu dikunjungi oleh jutaan turis domestik maupun mancanegara. Borobudur mempunyai bentuk bangunan yang tiada ada duanya di dunia. Bentuk arsitektur tersebut terinspirasi dari filsafat micro cosmos yang akan menimbulkan berbagai pertanyaan seperti kapan, bagaimana caranya, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun dan oleh siapa.
Jawaban pasti akan hal tersebut masih merupakan misteri hingga saat ini karena tidak adanya satu dokumen pun yang bisa ditemukan. Berdasarkan tulisan singkat yang ada pada prasasti yang ditemukan, maka banyak ahli menyatakan bahwa Borobudur dibangun pada sekitar abad ke 8 ketika Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra memerintah kerajaannya di Jawa Tengah. Borobudur mempunyai arti yang samar-samar, tetapi sebenarnya kata tersebut merupakan sebuah gabungan kata “Bara” dan “Budur”. Bara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti komplek candi atau biara, sementara Budur mengingatkan akan kata dari Bahasa Bali yang berarti di atas. Dengan demikian, Borobudur berarti biara yang terletak di atas bukit.

Borobudur adalah bangunan yang penuh dengan ornamen yang mengandung fosofi dimana ornamen-ornamen tersebut mempunyai symbol kesatuan dalam perbedaan yang dapat diikuti oleh semua orang untuk mencapai tujuan hidup yang paling mulia. Relief-relief yang terpahat pada tembok-tembok candi menceritakan akan ajaran hidup manusia yang sangat indah. Dengan kata lain, Borobudur adalah jiwa dari seni, budaya dan filsafat.

Borobudur merupakan Candi Budha terbesar di dunia yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Terletak disebelah Barat Laut kota Yogyakarta, sejauh lebih kurang 42 km. Dibangun pada abad ke 8, dengan kerja keras dan keringat yang membasahi dibawah sengatan terik matahari daerah tropis, ditunjang ketekunan para pekerja dan dedikasi yang tinggi dari kerabat dan rakyat wangsa Cailendra yang berkuasa pada saat itu. Candi itu benar-benar menampilkan kebesaran dan kemakmuran rakyat kerajaan Cailendra, yang berusaha menggambarkan riwayat hidup Sidharta Gautama dan menjelaskan ajaran-ajarannya melalui relief-relief yang terukiir indah pada dinding candi.

Dari puncak candi dapat dilihat alam sekeliling yang indah, gunung Sumbing yang sebagai salah satu type gunung indah dan type gunung berapi yang ada di Jawa Tengah pulau Jawa yang mengepulkan asap tampak di sebelah barat di antara awan yang bergerak. Bangunan ini merupakan peninggalan nenek moyang kita yang sangat berharga, bukan hanya bagi bangsa Indonesai tapi sebagai warisan dunia.

Bangsa Indonesia patut berbangga, karena candi yang sering disebut-sebut sebagai salah satu keajaiban dunia — dan mengundang minat orang dari seluruh penjuru dunia untuk mengunjunginya — Di sebelah barat candi Buddha ini membujur Pegunungan Menoreh, yang terlihat seperti seseorang yang sedang tidur. Bahkan beberapa cerita menyebutkan, itu adalah sang Gunadharma yang sedang tidur setelah selesai melakukan pembangunan Candi Borobudur. Konon, sang Gunadharma akan bangkit 1.000 tahun setelah tidur panjangnya untuk kembali memimpin bangsanya.

Lantas apa arti relief-relief yang terdapat pada dinding-dinding candi? Ukiran relief yang terdapat di dinding candi memuat banyak ajaran moral dan etika bagi masyarakat Jawa kuno, yang pada masanya sengaja dimanfaatkan para penguasa untuk menghindari konflik, perselisihan, dendam, serta untuk menanamkan saling pengertian. Sejumlah candi di Jawa Tengah, seperti Candi Mendut, Prambanan, dan Sojiwan, mengusung pesan-pesan itu. Selain itu, relief-relief candi juga menggambarkan kemakmuran dan kemajuan peradaban masyarakt waktu itu.

Tidak banyak catatan yang menyebutkan. Hanya saja, arkeolog JG de Casparis menghubungkan pembangunan Candi Borobudur itu dengan asal usul raja-raja Sailendra yang beragama Buddha. Dalam salah satu prasasti yang bertarikh 842 Masehi terdapat kalimat kamulan I bhumi sambhara. Candi Borobudur itu sendiri setelah melalui masa kejayaannya, kemudian berangsur-angsur ditinggalkan dan akhirnya hanya menjadi onggokan yang banyak ditumbuhi pepohonan. Baru kemudian pada abad ke-18 Masehi, terdapat catatan yang menyebut Borobudur. Persisnya, di dalam Babad Tanah Jawi. Dikisahkan bahwa seorang pemberontak, Mas Dono yang melawan Sri Susuhunan Paku Buwono I, tertangkap di Desa Borobudur. Setengah abad kemudian, muncul lagi catatan, kali ini seorang pangeran dari Kasultanan Yogyakarta yang menyaksikan seribu arca di Borobudur.

Setelah kembali sepi dari perbincangan dan catatan tertulis, Borobudur mendapat perhatian dari Sir Thomas Stamfford Raffles. Pada 1834, ketika berkunjung ke Semarang, Raffles mendapat berita tentang temuan bangunan kuno yang terpendam dalam tanah. Raffles kemudian mengirimkan seorang perwira militer, Cornelius untuk membuktikan kebenarannya. Saat mengunjungi Borobudur, Cornelius dibantu dengan penduduk setempat membersihkan bangunan itu dari semak belukar dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Pekerjaan membersihkan itu berakhir 1835 hingga seluruh bangunan terlihat.

Borobudur memiliki langgam candi yang sering disebut langgam Jawa Tengah Selatan. Ini berbeda dengan langgam Jawa Tengah Utara sebagaimana yang diwakili candi-candi Dieng, Gedongsongo dan lainnya, serta berbeda pula dengan candi-candi Jawa Timur. Ciri langgam Jawa Tengah Selatan ini antara lain bentuknya tambun, kebanyakan terbuat dari batu andesit, atapnya nyata berundak-undak, pintu berhiaskan kala makara, reliefnya timbul agak tinggi, kebanyakan menghadap ke timur, dan letak candi utama berada di tengah halaman.

Sementara itu, bangunan Candi Borobudur sebagai bentuk stupa, memiliki tiga tingkatan utama, yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Kamadhatu, bagian kaki, saat ini sudah tidak terlihat. Yang ada sekarang adalah batu-batu polos yang mencapai lebih dari 11.000 meter kubik menutup bagian kaki yang sebenarnya. Diperkirakan, pada saat bangunan ini sedang dibuat, batu-batu menjadi melesak ke dalam dan perlu ditambah dengan batu penguat baru yang kemudian menutupi batu asli. Pada bagian ini terdapat relief yang menceritakan Karmawibhangga yang melukiskan sebab dan akibat. Di atasnya, Rupadhatu, terdiri dari empat lorong bujur sangkar dan tiap lorong terdapat pagar langkan. Di bagian ini terdapat relief yang memuat cerita Gandaywuha, Lalitawistara, Awadana, dan Jataka. Kemudian memasuki tingkat atasnya lagi Arupadhatu. Sebelum memasuki tingkatan Arupadhatu, akan memasuki dataran berbentuk bujur sangkar tetapi tembok dalamnya sudah berbentuk lingkaran. Tidak seperti stupa-stupa yang berada di bagian bawahnya, pada stupa di Arupadhatu tidak ditemukan kisi-kisinya lagi.

Candi Borobudur, sebagai sebuah monumen raksasa memang patut untuk dikunjungi dan dijaga kelestariannya. Betapa tidak, bangunan ini juga memuat setidaknya 11 seri relief dengan tidak kurang dari 1.460 adegan. Sementara itu, di lingkungan Candi Borobudur juga bisa ditemukan arca dalam jumlah sangat banyak. Arca Buddha yang ada sangat mudah dikenali. Sang Buddha digambarkan dalam posisi duduk dengan mengenakan pakaian rahib, bahu kanan terbuka. Di bagian kepalanya terdapat semacam gelungan rambut yang disebut ushita, rambut ikal melingkar ke arah kanan, dan di antara kedua alis terdapat tonjolan kecil yang disebut urba.

Patung Buddha yang sendirian tidak pernah memegang sesuatu di tangannya kecuali yang ada dalam relief. Namun tangannya selalu menunjukkan sikap tertentu (mudra). Sedangkan di relung-relung di atas pagar langkan tingkat pertama terdapat patung Manushi Buddha yang menghadap ke luar. Tiap arah tertentu ditempati oleh Manushi Buddha tertentu pula. Di timur ditempati Kanakamuni, selatan Kacyapa, barat Cakyamudi, dan utara Maitreya. Masih ada lagi patung-patung Dhyani Buddha. (deni:berbagai sumber)


Batik Indonesia, Warisan Budaya Dunia Takbenda

30 Oktober 2008
Belum lama ini Menko Kesra Aburizal Bakrie secara tegas menyampaikan dukungannya agar “BATIK INDONESIA” dijadikan sebagai “Warisan Budaya Takbenda” kepada UNESCO tahun 2008. Dukungan Batik sebagai warisan budaya takbenda tentunya tak lepas dari sisi historis proses penciptaan seni batik itu sendiri.
Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam। Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa। Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX। Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu। Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang। Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur।

Adapun ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing। Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah.

Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix। Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. (deni:berbagai sumber)