Tradisi Grebeg Mulud yang Ratusan Tahun Tetap Terjaga

12 November 2008
Ngerayah Berkah Gunungan Sekaten Masyarakat Jogja punya tradisi Sekaten yang dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi itu tak bisa dilepaskan dari Kerajaan Demak.
Sejarah menyebutkan, Raden Patah pada 1478 M diangkat sebagai raja Demak bergelar Sultan Syah Alam Akbar Penambahan Jimbun Anom. Di bawah kepemimpinan Raden Patah, Kerajaan Demak semakin eksis dan berkembang. Termasuk dalam melakukan syiar Islam ke berbagai penjuru. Salah satu syiar yang dilakukan pada saat itu adalah menggelar perayaan setiap Rabiul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Perayaan itu selalu dilaksanakan di halaman masjid sehingga menjadi daya tarik masyarakat sekitar. Sunan Kalijaga lantas memanfaatkannya sebagai sarana dakwah. Melalui perayaan tersebut, masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat (dalam bahasa Arab disebut syahadatain).

Dalam lidah orang Jawa, kata-kata syahadatain berubah menjadi Sekaten. Sejak itulah, perayaan yang digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW biasa disebut Sekaten. Dalam perjalanannya, Sekaten menjadi tradisi yang terus dilestarikan setelah Kerajaan Islam pindah ke Pajang. Lalu, dari Pajang ke Mataram, hingga pindah ke Kartosuro dan Jogjakarta. Sekaten menjadi tradisi yang terbukti tak pudar meski berganti zaman.

Upacara Sekaten dimulai tanggal 5 (lima) bulan Jawa ketiga atau Mulud. Rangkaian upacara diawali miyos gongso yang telah dilaksanakan tanggal 13 Maret lalu. Miyos gongso merupakan prosesi keluarnya dua gamelan pusaka milik Keraton Jogja, yakni Kiai Nagawilaga dan Kiai Gunturmadu. Dua gamelan yang telah berusia ratusan tahun itu diusung dari Bangsal Ponconiti menuju Masjid Besar Kauman. Jarak Keraton Jogja dengan Masjid Besar Kauman sekitar 400 meter.

Setiba di halaman Masjid Kauman, gamelan Kiai Nagawilaga ditempatkan di pagongan utara, sedangkan Kiai Gunturmadu di pagongan selatan. Dua gamelan itu dibunyikan secara bergantian. Gending-gending yang dilantunkan adalah Yaume, Salatun, Ngajatun, Supiyatun, Dendang Subinah, Rambu-Rambu, Rangkung, Lung Gadhungpel, Atur-Atur, Andong-Andong, Rendeng-Rendeng, Gliyung, Burung Putih, Orang Aring, Bayemtur, dan Srundeng Gosong.

Masyarakat Jogja sampai saat ini masih ada yang meyakini bahwa mendengarkan gamelan itu akan mendapatkan berkah. Saat gamelan berada di pagongan utara dan selatan, di halaman Masjid Kauman dipadati masyarakat yang mengais rezeki. Mereka menjual apa saja. Mulai nasi kuning, soto, berbagai macam minuman, wedang ronde, telur merah, hingga perlengkapan nginang (daun sirih, gambir, dan injet).

Itulah sebabnya, halaman masjid menjadi tempat yang paling banyak didatangi masyarakat. Terutama dari daerah pedesaan di seantero Jogja dan sekitarnya.

Menjelang berakhirnya tanggal 11 Mulud (tadi malam, Red), dilaksanakan kondur gongso. Kondur gongso merupakan upacara kembalinya gamelan Kiai Nagawilaga dan Kiai Gunturmadu ke keraton.

Seperti ketika miyos gongso, ribuan orang saat itu rela berdesak-desakan menyaksikan arak-arakan diusungnya dua gamelan pusaka Keraton Jogja itu. Seperti yang terjadi tadi malam, jalan-jalan yang menjadi rute arak-arakan dipadati masyarakat.

Setelah upacara selesai sekitar pukul 23.30 (tadi malam), masyarakat tidak meninggalkan lokasi. Mereka yang berasal dari luar Jogja memilih tidur di jalan-jalan yang berdekatan dengan Masjid Kauman dan Keraton Jogja.

Untuk apa? Mereka ingin menyaksikan garebeg yang dilaksanakan pagi ini sekitar pukul 08.00. Garebeg merupakan puncak peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilangsungkan tanggal 12 bulan Jawa Mulud.

Upacara diawali parade prajurit keraton. Barisan paling depan adalah prajurit Wirobrojo. Prajurit ini populer dengan nama prajurit Lombok Abang. Di belakangnya prajurit Dhaeng, Jogokariyo, Patangpuluh, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, dan Mantrijero. Parade prajurit berangkat dari Kemandungan Lor Kraton.

Prajurit yang berjumlah ratusan orang dengan seragam berbeda itu lantas melewati Siti Hinggil dan Pagelaran Keraton. Disusul arak-arakan gunungan yang digotong para abdi dalem. Enam gunungan pada Garebeg Mulud yang keluar dari keraton dikawal Prajurit Bugis dan Prajurit Surokarso. Arak-arakan gunungan itu disambut tembakan salvo saat keluar dari Pagelaran Keraton menuju Alun-Alun Utara.

Gunungan lalu diarak menuju halaman Masjid Kauman. Setelah didoakan oleh penghulu keraton, gunungan berisi uba rampe itu langsung dirayah masyarakat. “Gunungan laki-laki yang satu dibawa ke halaman Masjid Kauman, sedangkan yang satunya dibawa ke Puro Pakualaman,” terang Bekel Wirokaryo.

Mereka yang mendapatkan uba rampe gunungan tampak senang. Mereka meyakini, uba rampe seperti hasil bumi yang berada di tangannya memberi banyak manfaat. Antara lain, diyakini dapat menyuburkan tanaman dan penolak bala.


Borobudur, Warisan Keajaiban Dunia Yang Terlupakan

11 November 2008
Borobudur merupakan salah satu peninggalan sejarah terindah dan terbaik di dunia yang tercatat dalam Daftar Peninggalan Sejarah Dunia. Candi Borobudur adalah bangunan agama Budha terbesar di dunia dan telah diakui sebagai peninggalan sejarah terbesar yang pernah dibuat oleh manusia dan hingga kini selalu dikunjungi oleh jutaan turis domestik maupun mancanegara. Borobudur mempunyai bentuk bangunan yang tiada ada duanya di dunia. Bentuk arsitektur tersebut terinspirasi dari filsafat micro cosmos yang akan menimbulkan berbagai pertanyaan seperti kapan, bagaimana caranya, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun dan oleh siapa.
Jawaban pasti akan hal tersebut masih merupakan misteri hingga saat ini karena tidak adanya satu dokumen pun yang bisa ditemukan. Berdasarkan tulisan singkat yang ada pada prasasti yang ditemukan, maka banyak ahli menyatakan bahwa Borobudur dibangun pada sekitar abad ke 8 ketika Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra memerintah kerajaannya di Jawa Tengah. Borobudur mempunyai arti yang samar-samar, tetapi sebenarnya kata tersebut merupakan sebuah gabungan kata “Bara” dan “Budur”. Bara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti komplek candi atau biara, sementara Budur mengingatkan akan kata dari Bahasa Bali yang berarti di atas. Dengan demikian, Borobudur berarti biara yang terletak di atas bukit.

Borobudur adalah bangunan yang penuh dengan ornamen yang mengandung fosofi dimana ornamen-ornamen tersebut mempunyai symbol kesatuan dalam perbedaan yang dapat diikuti oleh semua orang untuk mencapai tujuan hidup yang paling mulia. Relief-relief yang terpahat pada tembok-tembok candi menceritakan akan ajaran hidup manusia yang sangat indah. Dengan kata lain, Borobudur adalah jiwa dari seni, budaya dan filsafat.

Borobudur merupakan Candi Budha terbesar di dunia yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Terletak disebelah Barat Laut kota Yogyakarta, sejauh lebih kurang 42 km. Dibangun pada abad ke 8, dengan kerja keras dan keringat yang membasahi dibawah sengatan terik matahari daerah tropis, ditunjang ketekunan para pekerja dan dedikasi yang tinggi dari kerabat dan rakyat wangsa Cailendra yang berkuasa pada saat itu. Candi itu benar-benar menampilkan kebesaran dan kemakmuran rakyat kerajaan Cailendra, yang berusaha menggambarkan riwayat hidup Sidharta Gautama dan menjelaskan ajaran-ajarannya melalui relief-relief yang terukiir indah pada dinding candi.

Dari puncak candi dapat dilihat alam sekeliling yang indah, gunung Sumbing yang sebagai salah satu type gunung indah dan type gunung berapi yang ada di Jawa Tengah pulau Jawa yang mengepulkan asap tampak di sebelah barat di antara awan yang bergerak. Bangunan ini merupakan peninggalan nenek moyang kita yang sangat berharga, bukan hanya bagi bangsa Indonesai tapi sebagai warisan dunia.

Bangsa Indonesia patut berbangga, karena candi yang sering disebut-sebut sebagai salah satu keajaiban dunia — dan mengundang minat orang dari seluruh penjuru dunia untuk mengunjunginya — Di sebelah barat candi Buddha ini membujur Pegunungan Menoreh, yang terlihat seperti seseorang yang sedang tidur. Bahkan beberapa cerita menyebutkan, itu adalah sang Gunadharma yang sedang tidur setelah selesai melakukan pembangunan Candi Borobudur. Konon, sang Gunadharma akan bangkit 1.000 tahun setelah tidur panjangnya untuk kembali memimpin bangsanya.

Lantas apa arti relief-relief yang terdapat pada dinding-dinding candi? Ukiran relief yang terdapat di dinding candi memuat banyak ajaran moral dan etika bagi masyarakat Jawa kuno, yang pada masanya sengaja dimanfaatkan para penguasa untuk menghindari konflik, perselisihan, dendam, serta untuk menanamkan saling pengertian. Sejumlah candi di Jawa Tengah, seperti Candi Mendut, Prambanan, dan Sojiwan, mengusung pesan-pesan itu. Selain itu, relief-relief candi juga menggambarkan kemakmuran dan kemajuan peradaban masyarakt waktu itu.

Tidak banyak catatan yang menyebutkan. Hanya saja, arkeolog JG de Casparis menghubungkan pembangunan Candi Borobudur itu dengan asal usul raja-raja Sailendra yang beragama Buddha. Dalam salah satu prasasti yang bertarikh 842 Masehi terdapat kalimat kamulan I bhumi sambhara. Candi Borobudur itu sendiri setelah melalui masa kejayaannya, kemudian berangsur-angsur ditinggalkan dan akhirnya hanya menjadi onggokan yang banyak ditumbuhi pepohonan. Baru kemudian pada abad ke-18 Masehi, terdapat catatan yang menyebut Borobudur. Persisnya, di dalam Babad Tanah Jawi. Dikisahkan bahwa seorang pemberontak, Mas Dono yang melawan Sri Susuhunan Paku Buwono I, tertangkap di Desa Borobudur. Setengah abad kemudian, muncul lagi catatan, kali ini seorang pangeran dari Kasultanan Yogyakarta yang menyaksikan seribu arca di Borobudur.

Setelah kembali sepi dari perbincangan dan catatan tertulis, Borobudur mendapat perhatian dari Sir Thomas Stamfford Raffles. Pada 1834, ketika berkunjung ke Semarang, Raffles mendapat berita tentang temuan bangunan kuno yang terpendam dalam tanah. Raffles kemudian mengirimkan seorang perwira militer, Cornelius untuk membuktikan kebenarannya. Saat mengunjungi Borobudur, Cornelius dibantu dengan penduduk setempat membersihkan bangunan itu dari semak belukar dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Pekerjaan membersihkan itu berakhir 1835 hingga seluruh bangunan terlihat.

Borobudur memiliki langgam candi yang sering disebut langgam Jawa Tengah Selatan. Ini berbeda dengan langgam Jawa Tengah Utara sebagaimana yang diwakili candi-candi Dieng, Gedongsongo dan lainnya, serta berbeda pula dengan candi-candi Jawa Timur. Ciri langgam Jawa Tengah Selatan ini antara lain bentuknya tambun, kebanyakan terbuat dari batu andesit, atapnya nyata berundak-undak, pintu berhiaskan kala makara, reliefnya timbul agak tinggi, kebanyakan menghadap ke timur, dan letak candi utama berada di tengah halaman.

Sementara itu, bangunan Candi Borobudur sebagai bentuk stupa, memiliki tiga tingkatan utama, yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Kamadhatu, bagian kaki, saat ini sudah tidak terlihat. Yang ada sekarang adalah batu-batu polos yang mencapai lebih dari 11.000 meter kubik menutup bagian kaki yang sebenarnya. Diperkirakan, pada saat bangunan ini sedang dibuat, batu-batu menjadi melesak ke dalam dan perlu ditambah dengan batu penguat baru yang kemudian menutupi batu asli. Pada bagian ini terdapat relief yang menceritakan Karmawibhangga yang melukiskan sebab dan akibat. Di atasnya, Rupadhatu, terdiri dari empat lorong bujur sangkar dan tiap lorong terdapat pagar langkan. Di bagian ini terdapat relief yang memuat cerita Gandaywuha, Lalitawistara, Awadana, dan Jataka. Kemudian memasuki tingkat atasnya lagi Arupadhatu. Sebelum memasuki tingkatan Arupadhatu, akan memasuki dataran berbentuk bujur sangkar tetapi tembok dalamnya sudah berbentuk lingkaran. Tidak seperti stupa-stupa yang berada di bagian bawahnya, pada stupa di Arupadhatu tidak ditemukan kisi-kisinya lagi.

Candi Borobudur, sebagai sebuah monumen raksasa memang patut untuk dikunjungi dan dijaga kelestariannya. Betapa tidak, bangunan ini juga memuat setidaknya 11 seri relief dengan tidak kurang dari 1.460 adegan. Sementara itu, di lingkungan Candi Borobudur juga bisa ditemukan arca dalam jumlah sangat banyak. Arca Buddha yang ada sangat mudah dikenali. Sang Buddha digambarkan dalam posisi duduk dengan mengenakan pakaian rahib, bahu kanan terbuka. Di bagian kepalanya terdapat semacam gelungan rambut yang disebut ushita, rambut ikal melingkar ke arah kanan, dan di antara kedua alis terdapat tonjolan kecil yang disebut urba.

Patung Buddha yang sendirian tidak pernah memegang sesuatu di tangannya kecuali yang ada dalam relief. Namun tangannya selalu menunjukkan sikap tertentu (mudra). Sedangkan di relung-relung di atas pagar langkan tingkat pertama terdapat patung Manushi Buddha yang menghadap ke luar. Tiap arah tertentu ditempati oleh Manushi Buddha tertentu pula. Di timur ditempati Kanakamuni, selatan Kacyapa, barat Cakyamudi, dan utara Maitreya. Masih ada lagi patung-patung Dhyani Buddha. (deni:berbagai sumber)


Marawis, Geliatnya Budaya Pinggiran Jakarta

6 November 2008
Dua remaja berpakaian koko asyik menari dengan iringan musik yang khas. Tubuhnya tampak dihentak-hentakan mengikuti irama. Posisi kakinya jinjit. Sesekali kedua remaja itu mengangkat tangannya. Saat musik semakin ditabuh cepat dan makin menghentak, tarian pun dilakukan dengan penuh semangat.Tak banyak orang yang mengenal seni musik ini. Anda juga mungkin masih asing dengan seni yang dimainkan para remaja berbaju koko tersebut. Ternyata, seni musik yang mereka mainkan adalah dari tradisi Islam yang bernama marawis.

Seni Islami ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu. Mengapa dinamakan marawis? Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, musik dan tarian ini disebut marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut Marwas atau marawis. ”Karena kesenian ini memakai alat musik yang namanya marawis, dari dulu orang menyebutnya sebagai marawis,” ujar pemilik kelompok musik gambus Arrominia ini menjelaskan. Marawis adalah alat musik mirip kendang. Diameternya sekitar 20 Cm dan tinggi 19 Cm.

Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar. Hajir ini memiliki diameter sekitar 45 Cm dan tinggi 60-70 Cm.Kesenian ini juga menggunakan dumbuk, sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin dan ditambah lagi dua potong kayu bulat berdiameter 10 Cm.

Menurut Hasan, hampir di setiap daerah yang terletak di Semenanjung Melayu, memiliki kesenian marawis. ”Malah, ada yang menyebut seni ini marwas. Kesenian ini telah ada sejak lama di Indonesia,” paparnya.Dulu, saat Wali Songo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. ”Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius. Awalnya musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar keislaman, terutama Maulid Nabi,” katanya.

Namun, kata Hasan, kini marawis tidak hanya dimainkan saat Maulid Nabi saja. Kini, acara hajatan pernikahan, peresmian gedung, hingga di pusat perbelanjaan, marawis sering dimainkan. Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak pada cara memukul dan tari-tarian. Hasan mencontohkan, seni marawis di Aceh, tari-tariannya melibatkan laki-laki dan wanita. ”Kalau marawis khas Betawi yang menari dan memainkan marawis hanya pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat,” katanya.

Rame Pas Musim Kawin

Memasuki bulan Februari berarti juga memasuki musim kawin. Dan Marawis, kesenian tradisional Betawi akan mengambil bagian dari musim ini. Tak bisa dipungkiri jika di bulan Februari, perhelatan hajat perkawinan akan semakin banyak saja. Karena jangan kaget jika tiba-tiba anda menerima berbagai macam undangan pernikahan ataupun mendengar hajat pernikahan di bulan ini yang lebih banyak dari bulan sebelumnya.

Entah siapa yang memulai ataupun ada motivasi apa yang menganggap Februari adalah bulan baik untuk melangsungkan hajat pernikahan. Yang pasti memasuki bulan Februari akan semakin sering terdengar gendang-gendang Marawis bertabuhan terutama dari sudut-sudut perkampungan Betawi.

Marwas menjadi ciri khas Marawis, yaitu dengan mengandalkan bunyi yang keluar dari gendang tersebut yang ditabuh dengan tangan kosong. Nada ritmis energik akan muncul karena sang pemain menggunakan Arabian Scale, satu oktaf terdiri dari 24 nada sehingga jarak antara satu nada dan lainnya hanya seperempat saja. Scale ini berbeda dengan musik barat yang berjarak setengah nada dan memiliki 12 nada dalam satu oktaf.

Marwas sebenarnya bukan barang baru bagi orang betawi karena alat musik ini pun kerap kali dimainkan dalam orkes tradisonal betawi yang disebut Zafin. Kesenian ini pun sepertinya masih sekelas perkembangannya dengan Gambang Kromong.

Mendengar irama marawis kita akan dibawa pada suasan Arab yang kental. Wajar karena kesenian ini sendiri memang berasal dari negeri tersebut. Bersama dengan Gambus, masuknya marawis ke Indonesia bisa dikatakan melewati dua pintu.

Di Betawi sendiri dikenal adanya kaum Ulaiti. Yaitu keturunan orang-orang arab asal Hadramaut, Yaman Selatan yang datang membanjiri pesisir nusantara sejak dua abad lalu. desakan ekonomi dan keinginan berdakwah membuat mereka mendatangi Indonesia.

Untuk bisa membaur dengan warga betawi, perpaduan bahasa pun terjadi. Dulu kaum ulaiti ini masih mengandalkan bahasa arabnya untuk berkomunikasi. Tapi lambat laun mulai bercampur aduk dengan bahasa betawi. Contoh nyata adanya pengaruh arab dalam bahasa betawi adalah penggunaan istilah. “Ane” dan “Ente”.

Penyebaran musik dan budaya arab ke Jakarta bisa dikatakan memiliki pola yang sama dengan penyebaran budaya India. Yaitu melalui kunjungan orang-orangnya langsung maupun lewat media hibura. Jika beberapa tahun lalu, kita begitu banyak menyaksikan tayangan film India di televisi begitu pula dengan budaya arab.

Dulu, di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat terdapat Alhambra Theatre. Yaitu bioskop yang mengkhususkan diri untuk memutar film-film mesir. Dari tontonan tersebut, rupanya warga lokal semakin akrab dengan sni dan budaya mesir arab. Sehingga lambat laun mempengaruhi perbendaharan musik gambus yang mereka geluti.

Sepuluh tahun terakhir pun sebenarnya warga Jakarta masih kerap mendengar orkes gambus yang diperdengarkan melalui RRI. Sayangnya kini perkembangan zaman menggeser musik tersebut. Lebih kalah dari musik pop, rock, maupun dangdut.

Padahal jika disimak, syair-syair yang dilantunkan dalam Marawis maupun Gambus banyak berisi petuah-petuah maupun ajaran-ajaran agama. Karena itu seni marawis juga kerap diperdengarkan ketika memasuki bulan ramadhan, mauludun, dan syawalan.